Senin, 15 September 2008

Indonesia dan Pasukan Penjaga Perdamaian PBB

Sejarah peacekeeping diawali dengan pidato bersejarah Lester B. Pearson, mantan menlu dan PM Kanada (1963-1968), di depan Majelis Umum PBB tanggal 2 November 1956, yang menyatakan perlunya dibentuk “a truly international peace and police force” dalam menjaga kesepakatan gencatan senjata dalam krisis Suez saat itu. Keyakinan Pearson akan perlunya peacekeeping forces inilah yang membawanya kemudian memperoleh hadiah Nobel Perdamaian tahun 1957.
Berdasarkan statistik PBB, sejak tahun 1948 sampai dengan April 2007, terdapat 83.271 personil penjaga perdamaian “blue helmets” yang bertugas sebagai pasukan, polisi sipil dan pengamat militer dari 115 negara yang bertugas pada empat benua di seluruh dunia. Tidak dapat dilupakan bagaimana pengorbanan dan komitmen para peacekeepers di banyak negara untuk mengatasi penderitaan rakyat sipil dan melakukan rekonsiliasi kelompok yang bertikai. Kiprah Pasukan PBB di berbagai konflik di dunia telah menyebabkan UN Peacekeepers atau lebih dikenal sebagai Blue Berets atau Blue Helmets ini dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian tahun 1988.Misi penjaga perdamaian PBB saat ini semakin kompleks dan multidimensi dari masa lalu. Tugas dan tanggung jawabnya semakin meningkat. Namun, tugas penting untuk membangun kepercayaan melalui operasi penjaga perdamaian PBB yang bersifat tradisional, meliputi pengawasan pelaksanaan gencatan senjata dan kawasan penyangga (buffer zone) maupun kawasan demiliterisasi (demiliterized zones), dalam 18 operasi UN peacekeeping, termasuk di kawasan yang paling berbahaya di dunia seperti Sudan, Lebanon, Kongo dan Haiti.
Misi pasukan penjaga perdamaian PBB telah memfasilitasi pemilu di Haiti, Burundi dan Afghanistan. Keterlibatan PBB di Liberia telah menimbulkan hasil yang dramatis dengan terpilihnya presiden wanita pertama dari benua Afrika dan ditangkapnya mantan Presiden Liberia Charles Taylor atas tuduhan kejahatan perang di Sierra Leone. Demikian juga bahwa misi PBB di Sudan, Sierra Leone dan Democratic Republic of Congo, telah membawa stabilitas di kawasan itu.Namun cerita sukses tersebut juga harus dibayar mahal dengan banyaknya korps baret biru PBB ini yang meninggal dalam menghadapi situasi medan tugas yang sulit dan berbahaya. Sejak digelar pasukan penjaga perdamaian PBB ini telah tercatat 2.355 personel gugur dalam menjalankan tugasnya sebagai peacekeepers lebih setengah abad ini. Sejak tahun 2001, bagi personil militer, polisi dan sipil yang gugur dalam operasi perdamaian PBB tersebut dianugerahi Dag Hammarskjold Medal dalam upacara di Markas PBB di New York. Medali yang diberikan sejak Sekjen PBB Kofi Annan ini terbuat dari kristal kaca yang merupakan simbol dari kekuatan, kemurnian dan kelemahan dari UN peacekeeper yang gugur. Tugas sebagai peacekeepers bukanlah tanpa risiko. Tahun 2005, 124 peacekeepers dari 46 negara gugur dalam tugas. Sementara itu 32 personel meninggal dunia pada tahun 2006 dalam 18 operasi pasukan PBB di seluruh dunia. Meskipun demikian, pengorbanan mereka tidaklah sia-sia dan telah menjadikan dunia ini lebih aman. Menurut UN Under-Secretary-General for Peacekeeping Jean-Marie Guehenno, PBB dan negara yang mendapatkan manfaat langsung dari kehadiran peacekeeper PBB sangat memahami kontribusi para peacekeepers ini guna mengamankan perdamaian. Sampai dengan akhir April 2007, kontributor terbesar pasukan penjaga perdamaian PBB adalah Pakistan (10.173), Bangladesh (9.690), dan India (9.387), yang mencakup 35% dari Blue Berets PBB yang ada saat ini. Biaya operasi pasukan PBB mencapai lebih dari US$ 5 bilyun per tahun dan dibiayai oleh kebanyakan negara-negara UE, Jepang dan AS.
Sementara itu, sejak Indonesia mengirimkan Kontingen Garuda XXIII-A/UNIFIL ke Lebanon tahun 2006, Indonesia masuk dalam 20 besar negara kontributor Pasukan PBB dengan jumlah 1.071 personel per akhir April 2007 dari 115 negara kontributor. Indonesia saat ini mengirimkan pasukan sebanyak 1.030 (856 di Lebanon dan 174 di Kongo) dan 51 pengamat militer (18 MONUC, 3 UNMIL, 6 UNMIN, 10 UNMIS dan 4 UNOMIG). Ranking Indonesia ini melonjak drastis dimana sebelumnya tahun 2005 hanya menduduki ranking ke-47 dengan 199 personel (175 pasukan di Kongo dan 24 pengamat militer) dari 108 negara kontributor.
Sejarah pengiriman Pasukan Garuda dimulai sejak tahun 1957 dengan Garuda I di Mesir (UNEF). Selanjutnya pengiriman Kontingen Garuda setingkat batalyon di Kongo (Garuda II, 1960-1961 dan Garuda III, 1963-1964), Mesir (Garuda VI, 1973-1974 dan Garuda VIII, 1974-1979), Kamboja (Garuda XII, 1992-1994), Bosnia (Garuda XIV, 1995) dan Lebanon (Garuda XXIII-A/UNIFIL, 2006-2007). Kontigen Garuda lainnya merupakan pengamat militer di berbagai misi PBB di dunia, termasuk Brigadir Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI saat ini, yang menjabat sebagai Chief Military Observer pada Konga XIV di Bosnia Herzegovina (UNTAES, 1995-1996). Pengiriman Pasukan Garuda di Lebanon untuk tergabung dengan 13.251 personel UNIFIL dan 18.351 personel MONUC di Kongo, yang juga termasuk misi pasukan perdamaian PBB terbesar saat ini di dunia selain di Liberia (UNMIL, 15.202 personel), merupakan komitmen Indonesia sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 ikut serta menjaga perdamaian dunia. Pengiriman Pasukan Garuda untuk misi UNIFIL yang termasuk misi PBB yang berbahaya dan 271 peacekeepers gugur dalam tugas sejak tahun 1978 ini atau yang terbesar selain UNFICYP (176) dan MONUC (108), sekaligus menandai 50 tahun kontribusi Indonesia dalam UN peacekeeping sejak tahun 1957.
Tidak juga terlupakan dalam sejarah Pasukan Garuda Indonesia, antara lain akan gugurnya Kolonel Gunawan SP dalam penugasan Konga IV di Vietnam (1973) dan Mayor GA Manullang dalam Konga III di Kongo (1963-1964). Mereka gugur sebagai UN peacekeepers dengan keyakinan bahwa darma bakti mereka dapat membuat perbedaan antara perang dan damai, kemiskinan dan keamanan, represi dan kebebasan. Mereka menunjukkan dalam tugasnya bahwa konflik manusia dapat dicegah, kemiskinan dapat dikalahkan dan janji perdamaian dan toleransi dapat terwujud di antara bangsa-bangsa.
Leonard Hutabarat Ph.D., Penulis adalah pemerhati masalah internasional,
Alumnus Institut d’Etudes Politiques (IEP) de Paris

Tidak ada komentar: